Minggu Adven IV C – 22 Des 2024 (Luk 1:39-45)

DARI KALANGAN PEREMPUAN
Dalam Luk 1:39-45 (Injil  Minggu Adven IV tahun C) diceritakan kunjungan Maria kepada Elisabet. Sekilas, kisah ini terjadi sebagai pertemuan antara kedua tokoh itu. Namun bila ditengok lebih dalam, ada dua tokoh penting lain, yakni Yohanes dan Roh Kudus. Tanpa mereka maka ceritanya takkan utuh. Manakah tafsir yang membantu? Kita ikuti pembicaraan dua orang yang berusaha mendalami petikan itu.

MAKNA KUNJUNGAN MARIA
HAR: Sedang menyiapkan ulasan tentang kunjungan Maria ke Elisabet?
GUS: Iya. Tapi belum jelas mana nih yang mesti ditekankan: Maria-kah, Elisabet-kah atau Yohanes yang ada dalam kandungan, atau Roh Kudus. Masing-masing kan dapat dianggap berperan sebagai tokoh utama dalam peristiwa itu
HAR: Betul! Boleh jadi bisa mulai dengan Maria seperti teks Injil sendiri. Banyak hal dapat dikatakan tentang perjalanan Maria mengunjungi sanaknya itu.
GUS: Paling sedikit 150 km di daerah berbukit-bukit harus ditempuhnya. Gadis hebat ini berani berjalan sejauh itu … untuk menyaksikan yang diperbuat Tuhan kepada sanaknya, Elisabet, yang kini sudah mengandung enam bulan pada usia lanjut, seperti dikabarkan oleh malaikat Gabriel (Luk 1:36).
HAR: Tapi maknanya bisa berbeda-beda. Boleh jadi Maria memang bermaksud menyaksikan apa benar kata-kata malaikat dalam Luk 1:37 bahwa tak ada hal yang tak mungkin bagi Tuhan. Namun bisa pula dikatakan, Maria menempuh perjalanan itu agar makin dekat dengan Tuhan yang sungguh bekerja dalam diri Elisabet.
GUS: Pembedaan ini menarik! Memang perjalanan itu menegaskan kebenaran kata-kata malaikat. Tetapi dari sisi lain, perjalanan itu juga ziarah Maria mendekati misteri kehadiran ilahi. Dua sisi ini sama-sama berdasarkan kepercayaan yang tebal, tetapi dunia makna yang tampil berbeda. Mungkin dari segi sensitivitas perempuan, yang kedua itu lebih menyapa.
HAR: Ya, dan ini juga jelas dalam madah Elisabet. Ayat 42-43 mengutarakan siapa Maria itu: perempuan yang paling beruntung (“terberkati”) karena menjadi jalan kedatangan Tuhan ke dunia! Ayat 45 memuji kekuatan imannya (“berbahagialah ia yang percaya”) yang memungkinkan Sabda Tuhan menjadi kenyataan.
GUS: Di situ justru Elisabet-lah yang memungkinkan Maria menjalankan perannya.
HAR: Setuju. Lalu bagaimana mengenai Yohanes dan Roh Kudus?
GUS: Teringat kata-kata Santo Ambrosius, betul Elisabet-lah yang pertama-tama menerima salam, namun yang lebih dulu menanggapi ialah Yohanes yang masih ada dalam kandungannya. Ia serta merta “mengenali” kehadiran Juru Selamat. Dan dengan melonjak kegirangan ia membuat Elisabet ikut memahami karya Tuhan dalam diri Maria. Lukas menyebut Elisabet “dipenuhi Roh Kudus” yang membuatnya bersaksi mengenai siapa Maria itu.
HAR: Memang dengan cara ini kita memandangi berganti-ganti keempat tokoh itu. Masing-masing memberi makna pada kunjungan itu.

SEKALI LAGI YOHANES PEMBAPTIS
Bacaan Injil dari Minggu Adven I dan II yang lalu berkisar pada Yohanes Pembaptis. Kali ini Yohanes juga tampil walaupun sebatas hubungannya dengan Elisabet. Menurut Injil Lukas, sejak dalam kandungan ia terpilih menjadi orang yang merintis jalan bagi kedatangan Tuhan. Di sinilah pertama kali Yohanes menjalankan peran itu. Sewaktu memberi tahu Zakharia bahwa ia akan mendapat keturunan, malaikat Gabriel menegaskan bahwa anak itu akan “penuh Roh Kudus sejak dari rahim ibunya dan akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan” (Luk 1:15). Dalam petikan dari Luk 1:39-45, dinyatakanlah kebenaran hal itu. Siapakah orang pertama yang “berbalik kepada Tuhan”? Tak lain tak bukan adalah Yohanes sendiri. Ia langsung mengenali hadirnya Tuhan. Inilah gambaran ideal orang yang betul-betul telah berbalik kepada Tuhan. Oleh karena itu, ia dapat mewartakan tobat kepada banyak orang. Juga jelas adanya unsur kegembiraan. Ia melonjak kegirangan di dalam rahim ibunya. Dan kegembiraan ini menjalar ke orang-orang yang ada di sekitarnya. Pertama-tama, seperti dalam petikan ini, kepada Elisabet, kemudian kepada Zakharia (Luk 1:64; juga kidung Zakharia Luk 1:67-79), dan akhirnya juga ke orang-orang yang berdatangan kepadanya minta dibaptis seperti diulas di bawah judul-judul sebelumnya.

SUDUT PANDANG PEREMPUAN
Pembicaraan berikut ini agak lain dari yang lain. Anggap saja memasuki pembicaraan peka jender (“gender”) yang belakangan ini mulai berpengaruh di dunia tafsir Kitab Suci, juga di beberapa kalangan di Indonesia. Di sana sini Injil Lukas memang menonjolkan sensitivitas dari kalangan perempuan, khususnya dalam Kisah Masa Kanak-Kanak. Versi Matius lain; di situ tokoh Yusuf-lah yang ditonjolkan dan sudut pandang kaum lelaki-lah yang tampil.

Praktik tafsir dari segi sensitivitas perempuan tidak mudah, juga bagi penafsir yang wanita. Butuh pengalaman membaca. Namun demikian, bila pernah berjumpa dengan karya sastra yang ditulis dari sudut pandang perempuan (tidak perlu oleh penulis wanita), orang akan mulai menikmati kekayaannya. Tentunya banyak yang kenal puisi “Padamu Jua” karya A. Hamzah atau roman “Kalau Tak Untung” dari Selasih, atau “Kehilangan Mestika” karangan Hamidah, atau “Pada Sebuah Kapal” tulisan N.H. Dini atau juga “Pengakuan Pariyem” dari Linus Suryadi. Banyak karya dalam khazanah sastra Indonesia seperti itu akan lebih bermakna bila dibaca dalam perspektif perempuan. Apa itu? Ringkasnya, khusus bagi karya-karya yang disebut di atas, pengalaman “diperalat” dan “dipermainkan” amat menonjol. Oleh siapa? Tidak begitu dilacak. Bahkan pertanyaan itu tidak relevan. Yang disorot ialah penderita dan penderitaannya, bukan penyebabnya. Dalam perspektif ini, merasa “diperalat” dan “dipermainkan” itu diterima sebagai pengalaman pokok dalam kehidupan. Persoalannya bukanlah bagaimana melepaskan diri dari belenggu penderitaan itu (“emansipasi”), melainkan bagaimana tetap hidup dengannya dan mencoba memelihara secercah harapan untuk berjalan terus kendati apa pun yang terjadi. Akan terasa hambar bila karya-karya itu dibaca dengan menanyakan manakah pemecahan soalnya. Cara membaca seperti itu termasuk dalam “perspektif lelaki”. Memang banyak karya yang lebih cocok dibaca dengan perspektif lelaki, misalnya “Layar Terkembang” oleh Sutan Takdir Alisjahbana meskipun dua tokoh utamanya perempuan. Mereka hanya corong dua sikap mengenai masa depan kemanusiaan menurut pengarangnya. Begitu juga “Belenggu” karya A. Pane. Nasib tokoh-tokohnya berjalan sesuai dengan aturan-aturan penalaran khas lelaki. Belenggu patah karena Kartono, Tini, dan Yah memutuskan untuk tidak saling berhubungan lagi – ini perspektif lelaki, bukan perempuan. Juga karya-karya besar Pramoedya, semuanya berkembang dalam perspektif lelaki, tak peduli apakah mereka wanita atau pria.

Salam hangat,

A. Gianto