SABDA BAHAGIA DI MASA KINI?
Kemarin beberapa hal mengenai tafsiran Sabda bahagia (Mat 5:1-12a) saya bicarakan dengan Matt – bukan orang yang sama yang kalian kenal. Jelas petikan itu berperan sebagai pembukaan pelbagai pengajaran Yesus yang termaktub dalam Mat 5-7. Ada lima rangkaian pengajaran seperti itu, yakni Mat 5-7 (Khotbah di Bukit); Mat 10 (pedoman hidup bagi pewarta Kerajaan Surga); Mat 13 (penjelasan mengenai Kerajaan Surga); Mat 18 (pengajaran bagi para murid dalam hidup bersama); Mat 23-25 (uraian di Bukit Zaitun tentang kedatangan Kerajaan Surga pada akhir zaman). Di antara kumpulan yang satu dengan yang berikutnya diletakkan kisah-kisah mengenai tindakan serta mukjizat Yesus dan pelbagai peristiwa dalam kehidupan para murid.
Kelima kumpulan itu tersusun dengan cara yang unik. Yang terakhir berlatarkan pengajaran di bukit Zaitun. Latar ini mengingatkan pada kumpulan pertama yang berlatarkan sebuah bukit pula. Tentang ini akan dibicarakan lebih lanjut. Kemudian kumpulan keempat, yakni yang menyangkut kehidupan para murid, erat berhubungan dengan yang kedua, yakni pedoman hidup bagi para murid-murid Yesus yang akan meneruskan menjadi pewarta Kerajaan Surga. Kumpulan ketiga menyoroti Kerajaan Surga, warta paling pokok yang dibawakan Yesus. Penyusunan secara “konsentrik” seperti ini dapat menjadi pegangan mendalami masing-masing kumpulan itu. Demi mudahnya, kumpulan yang pertama (Mat 5-7) sebaiknya dilihat dalam hubungannya dengan warta pokok, yakni Kerajaan Surga (Mat 13) dan apa kenyataannya yang penuh nanti pada akhir zaman (Mat 23-25). Dan dengan demikian para murid akan siap menghayati pedoman hidup secara orang-perorangan (Mat 10) maupun dalam kebersamaan (Mat 18).
“BERBAHAGIALAH….!”
Dalam Mat 5:1-12a didapati delapan Sabda Bahagia yang ditujukan kepada semua orang (ay. 3-10) serta satu Sabda Bahagia yang khusus diucapkan bagi para murid (ay. 11) dan dilanjutkan dengan seruan agar mereka tetap bersuka cita (ay. 12a). Disebutkan dalam ay. 1-2, ketika Yesus melihat orang banyak, ia naik ke bukit dan mengajar agar para pendengarnya semakin memahami diri mereka. Sabda Bahagia juga dapat membantu kita membaca pengalaman kita sekarang ini juga. Upaya mendalami Sabda Bahagia sebagai pembukaan kumpulan yang pertama dapat menciptakan hubungan guru-murid dengan Yesus. Dan bila terjadi orang akan merasa tertuntun mendekat kepada kenyataan hadirnya Yang Ilahi di antara manusia juga. Hubungan ini akan mendekatkan orang pada kenyataan Kerajaan Surga di dunia dan kepenuhannya kelak di akhir zaman. Dengan demikian dapat juga menjadi pangkal berharap ikut menikmati kenyataan itu.
“BERBAHAGIALAH….!”
Tiga Sabda Bahagia (Mat 5:3-5) menegaskan bahwa orang dapat disebut berbahagia karena tumpuan harapan dalam hidupnya ialah Tuhan sendiri. Gagasan “miskin” dalam ay. 3 ialah kesahajaan batin, oleh karenanya diberi penjelasan “di hadapan Allah”. Dapat dicatat, penjelasan tambahan itu tidak terdapat di dalam Sabda Bahagia menurut Luk 6:20 karena yang ditekankan Lukas ialah orang yang betul-betul yang kekurangan secara material, orang yang tak bisa mencukupi kebutuhan hidup yang kini diperhatikan oleh para pengikut Yesus yang bersedia berbagi keberuntungan dengan mereka. Kemudian ay. 4 menyebut berbahagia orang yang “berduka cita”, maksudnya orang yang hanya akan dapat terhibur oleh kesadaran bahwa Tuhan tetap berada di dekat kendati orang mengalami kesulitan. Termasuk di sini sikap tidak berpihak pada kekerasan yang terungkap dalam ay. 5 sebagai “lemah lembut”.
Selanjutnya ada dua Sabda Bahagia (Mat 5: 6 dan 8) yang menyebut keinginan untuk menjalankan kehendak Tuhan sebagai hal yang membahagiakan, seperti terungkap dalam ay. 6 sebagai yang “lapar dan haus akan hal yang lurus” dan dalam ay. 8 sebagai yang “berhati bersih”. Ungkapan terakhir ini dipetik dari gaya bahasa Ibrani (lihat misalnya Mzm 24:4) dan artinya ialah mampu berpikir secara jernih, berbudi wening. Orang yang demikian ini tidak gampang dipengaruhi keinginan-keinginan yang menjauhkannya dari Tuhan. Jadi bukan sekedar ajaran agar menjauhi nafsu-nafsu yang biasanya disebut kotor.
Dua Sabda Bahagia yang lain (Mat 5: 7 dan 9) menegaskan bahwa upaya menghadirkan Tuhan kepada sesama menjadi kegiatan yang mendatangkan kebahagiaan. Upaya ini ditegaskan dalam ay. 7 sebagai “berbelaskasihan” dan dalam ay. 9 sebagai “pencinta damai”. Hasrat menghadirkan kebaikan Tuhan kepada orang lain ini karena orang sadar akan perlunya saling mendukung dan sikap pendamai.
Tidak disangkal adanya kesulitan, seperti jelas dari Mat 5:10-12. Orang yang nyata-nyata hidup dalam kerangka di atas sering menderita dimusuhi, seperti terungkap dalam ay. 10 “dikejar-kejar karena bertindak lurus”. Kemudian secara khusus kepada murid-muridnya Yesus menambahkan Sabda Bahagia yang ke sembilan, yakni yang menyangkut pengalaman dimusuhi orang karena menjadi muridnya (ay. 11). Pengharapan mereka dibesarkan (ay. 12a “bersuka citalah karena besar pahalamu di surga”).
Tiap pengalaman di atas dapat dihayati semua orang yang memberi ruang bagi Yang Ilahi. Dapat pula dikatakan pengalaman ini juga melampaui batas-batas agama. Mereka yang mendalami makna Sabda Bahagia dapat semakin mengenali liku-liku kehidupan rohani dan pergulatan di dalamnya. Hidup yang terarah kepada Yang Ilahi itu membawa kebahagiaan. Di situlah ditemukan makna “berbahagia”.
MENGAJAR DI SEBUAH BUKIT
Injil Matius ditulis bagi orang-orang yang mengenal akrab alam pikiran Perjanjian Lama. Intinya, yakni diturunkannya Taurat kepada Musa di Sinai. Bagi umat Perjanjian Lama, Taurat berisi ajaran kehidupan dalam bentuk pedoman, petunjuk, tatacara ibadat, hukum yang bila dijalani dengan jujur dan ikhlas akan membuat mereka menjadi dekat pada Tuhan dan menjadi umat yang dilindungi-Nya. Dengan latar inilah Matius mengisyaratkan kepada pembacanya bahwa Yesus kini menjalankan peran Musa. Yesus membawakan petunjuk, ajaran, kebijaksanaan yang bila dihayati akan membuat orang menjadi bagian dari umat yang baru pewaris Kerajaan Surga.
Memang ada beberapa perbedaan mencolok di antara penampilan Musa dan Yesus. Di Sinai dulu Musa sedemikian jauh. Awan meliputi pucuk gunung tempat Musa memperoleh Firman ilahi. Tak ada yang berani mendekat karena kebesaran ilahi sedemikian menggentarkan. Sekarang Yesus tampil sebagai tokoh yang dekat dengan orang banyak. Matius memang sengaja menampilkannya sebagai kenyataan dari “Tuhan menyertai kita” – Imanuel. Kini bukan lagi awan yang menggentarkan, melainkan kemanusiaan Yesus-lah yang menyelubungi kebesaran ilahi sehingga orang banyak dapat datang mendekat. Tempat pengajaran diturunkan tidak lagi digambarkan sebagai gunung yang tinggi yang hanya bisa didaki Musa sendirian. Bukit tempat menyampaikan pengajarannya terjangkau oleh orang banyak dan bahkan mereka dapat langsung mendengarkannya. Bagaimanapun juga, tetap ditegaskan, tempat yang mudah tercapai ini menjadi tempat keramat juga, seperti puncak Sinai dulu. Namun kekeramatan yang dekat – bukan yang sulit terjangkau.
Nanti menjelang akhir kehidupannya, Yesus masih memberi pengajaran kepada murid-muridnya di sebuah bukit pula, di bukit Zaitun. Kita boleh ingat akan Musa di gunung Nebo, memandang ke barat ke Tanah Terjanji. Ia sendiri tidak akan memasukinya. Yosua-lah yang akan memimpin umat ke sana. Peristiwa ini besar maknanya bagi pembaca Injil Matius. Nama Yesus dalam bentuk Ibraninya sama persis dengan nama Yosua penerus Musa tadi. Dengan demikian disarankan bahwa Yesus bakal memimpin orang banyak memasuki negeri baru yang dijanjikan, yakni Kerajaan Surga.
WARTA SABDA BAHAGIA
Sabda Bahagia dalam Injil menggambarkan apa yang nyata-nyata dialami dan terjadi di antara orang-orang yang hidup mengikuti Yesus, bukan dimaksud untuk menunjuk pada hal-hal yang belum terjadi. Dengan perkataan lain, Sabda Bahagia itu sifatnya deskriptif, bukan preskriptif. Beberapa contoh lain dari Sabda Bahagia selain yang sedang dibicarakan ialah Mzm 1:1; 32:1-2; 144:15; Mat 11:6; 13:16; 16:17; Luk 6:20; 11:28; 12:37; Yoh 20:29; 1 Pet 4:14. Sabda Bahagia bukanlah kata-kata yang memiliki daya untuk mengadakan sesuatu, seperti “berkat”, juga bukan serangkai resep hidup bahagia. Sabda Bahagia menunjukkan apa yang terjadi bila orang berada dalam keadaan yang digambarkan di situ. Pendengar diajak memikirkan lebih lanjut dan mengambil sikap-sikap baru. Dengan demikian Sabda Bahagia bukan mengajarkan “yang itu-itu” saja. Sabda itu tetap menyapa.
Sabda Bahagia sebaiknya juga dibaca dengan menengok ke depan, yakni ke pengajaran Yesus mengenai Penghakiman Terakhir dalam Mat 25:31-46. Kedua bahan ini membingkai seluruh pengajaran Yesus. Kedua-duanya diberikan pada sebuah bukit. Kedua-duanya membicarakan siapa-siapa yang bakal memiliki Kerajaan Surga, yang dapat memasuki kebahagiaan kekal. Dalam Mat 25:35-36 ditegaskan bahwa berbuat baik kepada sesama berarti berbuat baik kepada Tuhan sendiri. Yesus memanusiakan gambaran Penghakiman Terakhir. Diajarkan bagaimana orang bisa mengerti bahwa yang dikerjakan bagi sesama nanti dijadikan batu uji masuk surga. Kebijaksanaan dan akal sehat menjadi penuntun yang baik ke arah pertanggungjawaban terakhir nanti. Orang dihimbau sejak kini agar nanti bisa mengatakan kita juga telah memperkaya Tuhan dan telah berbuat baik kepada-Nya. Sabda Bahagia menggambarkan keadaan batin dan sikap hidup mereka yang nanti pada akhir zaman akan dapat mengatakan bahwa telah berbuat banyak bagi sesama. Dan Tuhan akan mengatakan itu semua dikerjakan bagi-Nya. Mereka yang demikian akan betul-betul dapat disebut “Berbahagia”!
Arah seperti itu juga didapati dalam bacaan pertama. Bagian awal, yakni Zef 2:3, memuat seruan agar umat tetap terus berupaya mencari Tuhannya keadilan dan kerendahan hati. Ungkapan ini menarik karena perilaku sosial yang dapat seutuhnya diwujudkan oleh orang-orang yang berkehendak baik dalam masyarakat, yakni keadilan (=saling menghormati hak dan kewajiban) serta kerendahan hati (= tidak mau mengecilkan pihak lain) kini ditunjukkan sebagai perilaku yang mengikutsertakan kehadiran ilahi. Dan mereka yang bertindak adil dan rendah hati seperti itu boleh berharap akan dilindungi-Nya. Kemudian dalam bagian kedua, Zef 3:12-13, ditegaskan bagaimana integritas, kejujuran, sikap apa adanya dalam hidup umat memberi arti pada apa itu menyatakan diri mau berlindung kepada Tuhan. Umat yang demikian tidak bakal membuat pihak-pihak lain merasa kurang enak atau tertekan. Dalam bahasa sekarang, kesungguhan hidup beragama menjadi lebih nyata di dalam perbuatan yang membangun kesejahteraan hidup di masyarakat, bukannya pertama-tama di dalam pernyataan-pernyataan mengenai pokok kepercayaan belaka. Inilah yang diserukan nabi dan yang dapat didalami lebih lanjut dengan Sabda Bahagia dalam Injil.
Salam hangat,
A. Gianto