TENTANG PINTU, GEMBALA YANG BAIK, DAN PEMIMPIN UMAT
Dua perumpamaan saling terjalin erat di dalam Yoh 10:1-10 yang dibacakan pada hari Minggu Paskah 1V tahun A ini. Pertama, Yesus mengumpamakan diri sebagai pintu bagi kawanan domba. Kedua, ia mengibaratkan diri sebagai gembala bagi kawanan domba. Gambaran pintu dapat membuat orang berpikir mengenai jalan masuk yang dipakai pemilik domba-domba. Mereka yang masuk tanpa melewati pintu itu tentumya berniat mencuri dan merampok. Mereka membuat kawanan ketakutan menjauh. Gembala datang melewati pintu dan memanggil kawanan satu persatu dan memimpin mereka berjalan ke padang rumput. Bagaimana menafsirkan “pintu dan gembala” itu dan mengembangkannya lebih lanjut? Bagaimana menerapkannya bagi keadaan sekarang?
TENTANG PINTU, GEMBALA, DAN PENCURI
Gagasan sesederhana seperti “pintu” bisa mengecoh. Langsung bayangan kita terarah pada jalan masuk, penyekat, penutup, pemisah antara yang di luar dan yang di dalam. Dan memang semuanya benar. Semakin disimak, akan semakin terasa ada hal lain yang hendak dikatakan. Dalam bagian awal petikan dikatakan bahwa yang memasuki tempat kawanan tidak lewat pintu adalah pencuri dan perampok yang membuat kawanan ketakutan. Jadi gembala diperlawankan dengan pencuri dan perampok justru dalam hal masuk melewati pintu atau tidak. Dalam ay. 7 Yesus mengatakan dirinya itulah pintu bagi gembala. Ditegaskannya pula bahwa yang datang sebelum dia adalah pencuri dan perampok. Dapat disimpulkan, sebelum ia datang, kawanan itu tinggal di tempat yang tidak berpintu. Mereka ada di lapangan terbuka dan bisa dimangsa pencuri dan pembunuh. Kawanan itu tak terlindung. Kedatangan Yesus menjamin kehidupan mereka. Domba yang melalui “pintu” ini akan menemukan padang rumput. Pintu dan gembala seolah-olah menyatu. Dan memang itulah yang dimaksud dalam petikan ini. Tetapi mengapa justru gambaran pintu dipakai?
Pintu dipakai untuk menutup jalan atau membiarkan orang melewatinya. Yang ditutup ialah jalan masuk bagi orang yang tak berwenang untuk mengambil begitu saja hak milik orang. Hanya gembala yang bakal dibukakan pintu karena kawanan itu miliknya. Yang dibuka ialah jalan keluar ke padang rumput tempat kawanan dipimpin oleh sang empunya, bukan oleh orang sewaan. Pemimpin ini membawa kawanan itu ke tempat mereka bisa menikmati kesejahteraan.
Dengan menggambarkan diri sebagai pintu yang tadinya belum ada itu Yesus hendak mengajarkan bahwa kini telah mulai zaman baru. Dia yang datang ke dunia itulah yang menjadi pintu. Ia bakal membawa orang ke padang rumput, ke tempat sejahtera. Zaman ancaman yang tak dapat ditanggulangi sudah selesai. Kini ada pembatas jelas, yakni dirinya, sang pintu itu. Memang masih akan ada ancaman dari mereka datang tanpa lewat pintu itu. Tetapi kawanan sudah tahu bahwa mereka itu tidak bermaksud baik. Dan mereka itu tidak mengenal kawanan satu persatu. Mereka hanya akan merampas dan membawa mereka ke pembantaian, bukan ke padang rumput.
KIASAN DAN MAKNA GANDA
Memang dalam teks Yohanes dipakai kata Yunani “thura” untuk mengungkapkan pintu jalan masuk dan keluar kebun, rumah, kandang. Dalam gambaran orang dulu, pintu berasosiasi dengan gerbang kota tempat orang berkumpul guna membicarakan urusan penting, untuk membawa perkara ke pada penguasa setempat. Untuk ini memang ada kata Yunani lain, yakni “pulee”. Tetapi di sini kedua gagasan itu kiranya sengaja ditumpang-tindihkan agar tampil gambaran mengenai gembala yang memperlakukan kawanan dengan baik. Boleh dicatat, dalam bahasa Aram (“bahasa Yesus”) kedua gagasan itu biasanya terungkap dengan satu kata saja, tidak seperti Yunani atau Ibrani. Namun, tak usah kita membebani pembicaraan dengan amatan dari segi bahasa-bahasa itu. Kita anggap saja, bagi para pembaca Injil Yohanes, ibarat pintu dapat menimbulkan dua gagasan tadi. Yang satu ialah jalan keluar masuk yang resmi, dan yang kedua, tempat orang dapat berkumpul membicarakan masalah karena di situ para tetua kota berkumpul (Ul 21:19 25:7 Ams 31:23), jadi semacam pengadilan (Mzm 69:13 127:5 Ayub 31:21 Amos 5:10) atau tempat orang mengadakan kontrak dan perjanjian dengan saksi yang sah (Kej 23:10 Rut 4:1). Di tempat seperti itulah orang boleh berharap memperoleh keadilan dan perlindungan.
Bagi orang zaman dulu, tiap pemimpin, entah itu raja atau Tuhan sendiri, bisa digambarkan dengan gembala. Dalam Yehezkiel 34 Tuhan digambarkan sebagai gembala yang baik yang melawan gembala-gembala jahat, yakni pemimpin yang bertindak tak adil. Demikianlah dalam petikan dari Yoh 10 itu dimunculkan gambaran seorang pemimpin baik yang datang membawakan yang adil kepada umat yang berkumpul menantikan dan mengharap-harapkannya. Ini semua dimungkinkan dengan ibarat “pintu” dan “gembala” yang datang lewat pintu itu. Pemimpin atau raja wajib menegakkan keadilan bila orang datang kepadanya. Sekali lagi gambaran ini sudah menjadi klasik dan termasuk dalam dunia alam pikiran orang waktu itu. Kenyataan sehari-hari tentu sudah berbeda karena kelembagaannya sudah berbeda. Namun demikian, “pintu” yang memiliki asosiasi dengan gerbang kota tadi dapat membuat orang berpikir mengenai tempat berkumpul menantikan tindakan seorang pemimpin yang mereka percayai.
MENGIKUTI SANG GEMBALA
Setelah kekayaan ibarat pintu serta gembala disadari, dapatlah didalami kelanjutannya. Dikatakan gembala memanggil kawanan satu persatu. Maksudnya, masing-masing domba dikenal gembala yang empunya kawanan itu tadi. Kawanan itu tidak diperlakukan secara anonim. Mereka tidak dianggap sebagai barang, melainkan sebagai pribadi. Hubungan antara pemilik dan kawanan itu hubungan pribadi. Bahkan bisa dikatakan tidak akan ada hubungan antara pemilik atau gembala dengan kawanan tadi bila tidak terjalin hubungan saling mengenal yang memberi rasa aman, rasa percaya.
Ketika disapa Yesus “Bu, kenapa menangis? Siapa yang kaucari?”, Maria Magdalena malah mengira sedang berhadapan dengan penjaga taman pekuburan Namun, ketika Yesus memanggilnya dengan namanya, “Maria!” (Yoh 20:16), maka Maria Magdalena langsung mengenalinya. Begitulah sapaan pribadi membuatnya melihat siapa yang mendatanginya. Kembali ke ibarat gembala yang memanggil satu persatu kawanan yang akan dipimpinnya ke padang rumput tadi. Sapaan perorangan yang dialami dalam batin juga akan membuat orang mengenali kehadiran ilahi. Ia bukan orang yang tak dikenal yang membuat waswas. Begitulah pengalaman Maria Magdalena. Begitulah juga pengalaman para pengikut Yesus sepanjang zaman.
Disebutkan dalam Yoh 10:3, domba-domba itu mengikuti sang gembala. Mengikuti bukan berarti meniru, melainkan meniti jalan yang dibuka oleh yang berjalan di muka menuju ke padang rumput. Di dalam kesadaran para pengikut Yesus, pemimpin bukanlah dia yang meniru gembala sang empunya kawanan tadi, apalagi mengambil alih kedudukannya sebagai pemilik kawanan. Yang diberi kedudukan memimpin juga mengikuti dia yang menyapa satu persatu tadi. Mereka ini membantu agar kawanan bisa lebih melihat siapa yang berjalan di muka. Siapa saja yang merasa diajak memimpin juga akan memberi tahu sang empunya kawanan bila ada dari antara kawanan yang tertinggal dan tak menemukan jalan. Dalam Injil lain gembala yang empunya kawanan itu dikatakan akan mencarinya sampai ketemu (Luk 15:1-7 Mat 18:12-14).
Menurut adat kebiasaan Gereja Katolik, Paus menyebut diri “servus servorum”, harfiahnya ‘abdinya para abdi’. Yang dimaksud jelas bukanlah abdi dari sekalian abdi, abdi paling kecil, melainkan “abdi agung”, pembantu utama Yesus sang Gembala sendiri. (Bandingkan ungkapan “servus servorum” dengan “King of Kings”, Raja Besar, raja diraja, juga dengan “Song of Songs”, artinya Kidung Agung.) Jadi ia sendiri juga mengikuti Yesus sang Gembala, sang Empunya kawanan. Bukan dialah pemilik umat. Ia membantu agar umat dapat mengarahkan diri kepada sang Gembala. Kini dapatlah kita semakin menghargai siapa saja yang diserahi kedudukan ikut membawa umat lebih jauh ke depan. Mereka itu memungkinkan orang dapat mengalami kehadiran Gembala yang baik, sang Empunya kawanan dengan lebih nyata. Bila mereka menjalankan tugas mereka dengan sepenuh hati dan jujur, mereka tidak akan mengukuhi kawanan itu bagi mereka sendiri. Di situlah integritas pemimpin umat.
DARI BACAAN PERTAMA
Kis 2:14a.36-41 menyampaikan awal dan penutupan kotbah Petrus kepada orang-orang yang menyaksikan peristiwa datangnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Di situ Petrus menandaskan bahwa “Allah telah membuat Yesus yang kalian salibkan itu menjadi Tuhan dan Kristus”. Ternyatalah bahwa dia yang disalibkan itu – Yesus orang Nazaret – kini diangkat oleh Yang Maha Kuasa menjadi Tuhan dan utusan resmi dariNya sendiri. Salib yang dilaluinya kini menjadi jalan keselamatan bagi semua orang. Tetapi yang diwartakan Petrus lebih dalam. Pelaku penyaliban bertanggung jawab atas tindakan mereka, tetapi pertanggungjawaban ini bukan berupa hukuman melainkan hak untuk diselamatkan! Inilah teologi salib yang amat berani. Sekaligus ini penalaran yang menunjukkan betapa besarnya kemurahan ilahi.
Salam hangat,
A. Gianto