“JANGANLAH GELISAH HATIMU…!
Seperti tertulis dalam Yoh 14:1-12 (Injil Minggu Paskah V tahun A), Yesus menghibur para murid, “Janganlah gelisah hatimu…!” (ay. 1). Tidak selalu mudah mengerti arah perkataan ini. Beberapa kali Yesus diceritakan dalam Injil Yohanes mengalami perasaan gundah. Perasaannya campur aduk ketika melihat Maria menangisi kematian Lazarus (11:33), ia gelisah ketika menyadari bakal mengalami kematian di salib (12:27), dan dengan berat hati ia menyebutkan bahwa salah satu di antara mereka akan berkhianat (13:21). Mengapa kini ia menghibur murid-muridnya?
PERLINDUNGAN
Di dalam kesadaran orang pada zaman itu, pengalaman paling menyeramkan ialah merasa “tertinggal” di luar, tak ada yang mengurus. Dalam keadaan ini orang merasa seperti berada di luar pintu kota pada malam hari, sewaktu-waktu bisa dimangsa oleh penyamun dan serigala. Dengan latar inilah Injil Yohanes berbicara mengenai tempat yang paling memberi rasa aman. Tempat itu ialah kediaman Bapa sendiri. Di situ Yang Maha Tinggi berkuasa. Tak ada yang dapat mengganggu gugat mereka yang berdiam di dekatnya.
Dikatakan dalam Yoh 14:2 bahwa di sana ada banyak “tempat tinggal”. Ini cara untuk mengatakan bahwa siapa saja boleh dan bisa menemukan ketenteraman dan perlindungan di dekat Yang Mahakuasa. Tidak lagi akan ada yang bakal merasa ditinggalkan. Tidak usah berebut dan waswas bakal tidak mendapat tempat…. Yesus datang memberitahukan hal itu. Seperti ditegaskannya dalam ay. 2, dia sendiri akan menyiapkan tempat itu, dan bila sudah selesai, ia akan kembali dan membawa murid-murid ke tempat yang aman itu tadi. Dan mereka takkan berpisah lagi dengannya. Murid-murid dikuatkan agar mantap hatinya. Itulah arti ajakan untuk mempercayai Bapa dan mempercayai Yesus dalam ay. 1.
JALAN, KEBENARAN, DAN KEHIDUPAN
Yesus memperhatikan keadaan murid-muridnya. Ia dapat dibayangkan sebagai “gembala yang baik”. Ia juga berlaku sebagai “pintu”. Begitulah petikan yang dibicarakan bagi Injil hari Minggu lalu. Kali ini ada kiasan lain untuk memperkenalkan siapa Yesus itu. Dipakai gagasan “jalan”. Jalan ialah arah yang perlu dilalui dan ditempuh agar sampai ke tujuan. Ada tumpang-tindih dengan kiasan “pintu”. Kedua-duanya perlu dilalui agar sampai ke tujuan. Pintu titik awal dan di luar itu ada jalan yang perlu ditempuh. Di luar pintu banyak bahaya. Pada jalan yang benar ada jaminan akan sampai ke tujuan. Jalan yang sejati itu bukan barang yang berhenti, yang tinggal diam, melainkan jalan yang betul-betul bisa membawa ke tujuan. Jalan itu jalan bagi kehidupan.
Tiga kiasan, yakni “jalan”, “kebenaran”, “hidup”, diterapkan pada diri Yesus yang telah berjanji akan datang kembali untuk membawa murid-murid ke tempat mereka nanti dapat sungguh-sungguh berbagi kehidupan dengan Yang Mahakuasa sendiri. Ketiga kiasan itu ditampilkan untuk menjawab Tomas yang mengeluh bahwa murid-murid tidak tahu ke mana Yesus pergi (ay. 5). Murid-murid memang belum melihat jelas arah yang sedang dijalani Yesus. Bagaimana murid-murid bisa terus mengikutinya bila arah yang ditempuh Yesus tidak jelas bagi mereka? Itulah pertanyaan para pengikut Yesus, juga hingga hari ini.
Keinginan mencapai hidup abadi dan bahagia memang menjadi dasar kehidupan ini. Namun demikian, sering jalan ke sana tidak pasti. Oleh karena itu banyak macam usaha. Dan “agama” ialah upaya menjawab kebutuhan akan jalan yang pasti itu. Dalam menjalani agama, orang yang percaya semakin mendekat kepada yang dituju. Perlahan-lahan orang terbawa ke sana. Dan nanti pada satu saat akan tercapai. Jadi tujuan menjadi makin nyata justru dalam berupaya menempuh jalan itu sendiri. Tujuan yang dimaksud bukanlah tempat yang ada di “sana”, hanya tinggal diarah saja. Sebenarnya dapat dikatakan, tujuan itu sendiri makin ke-“sini”. Inilah kiranya yang hendak diajarkan Yesus kepada Tomas.
FILIPUS DAN KENDALA KEPERCAYAAN
Dalam Yoh 14:9-14 ada penjelasan bagi Filipus yang mohon agar Yesus “menunjukkan Bapa”. Seperti kebanyakan murid lain dan para pengikut Yesus sepanjang zaman, Filipus berharap bisa melihat dengan mata kepala sendiri tujuan yang mau dicapai tadi. Orang ingin mendapat pengalaman yang membuat tunduk dan mantap percaya. Inilah yang dimaksud Filipus ketika berkata, “itu sudah cukup bagi kami”. Tapi ada kendala yang mengganjal.
Boleh dikata, agar percaya dibutuhkan kemantapan. Ini kendala yang bisa mengurung orang dalam lingkaran setan. Pemecahan yang terpikir biasanya seperti diusulkan Filipus tadi: biarkan kami melihat Bapa, dan kami akan mudah percaya. Tapi Filipus tidak sadar bahwa bila sudah melihat Bapa maka “percaya” sebetulnya tidak ada banyak artinya lagi. Justru percaya itu hidup dengan sisi-sisi yang tidak pasti bagi yang bersangkutan. Menerima ketidakpastian itu dengan ikhlas, membuat orang menjadi “percaya”.
Jawaban bagi kendala yang dialami Filipus tadi diberikan dalam ay. 9-14. Dikatakan, hendaknya cara berpikir seperti Filipus tadi tidak dijadikan cara untuk sampai kepada sikap percaya. Akan macet dan akan menuai kekecewaan. Malah orang akan kehilangan pegangan satu-satunya yang sudah ada, yakni Yesus sendiri yang akan membawa murid-murid kepada Bapa dan membawakan Bapa kepada mereka! Dia itu kan “jalan”, ia itu kan “kebenaran”, dan ia “hidup”! Pembaca yang jeli akan menangkap gema kata-kata Yesus kepada Tomas sebelumnya.
Uraian kepada Filipus itu bukan semata-mata ajaran di seputar kesatuan antara Yesus dan Bapanya, melainkan jawaban bagi masalah kepercayaan yang paling dalam dan paling sulit. Pada dasarnya jawaban itu seperti berikut. Bila mau percaya, hendaklah mulai dengan menjauhi kepercayaan yang dibuat sendiri, seperti halnya keinginan untuk melihat Tuhan dan menggapai-Nya! Ini gagasan semu dan akan membuat orang menangkap kekosongan. Tak bakal sampai. Mulailah dengan yang sudah ada di dekat tetapi yang bukan hasil buatan dan idam-idaman sendiri. Itulah kehadiran Yesus dalam hidup murid-murid. Kehadiran ini membukakan macam-macam dimensi dalam hidup ini. Dia itulah yang membuat tujuan yang rasanya mengawang tadi menjadi dekat, menjadi bagian dalam hidup. Yang juga muncul dalam keseharian.
PEKERJAAN-PEKERJAAN BESAR?
Ay. 12 menyebutkan bahwa siapa yang percaya kepada Yesus akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya, bahkan yang lebih besar daripada itu. Yang dimaksud bukanlah mengerjakan mukjizat, penyembuhan, membuat tanda-tanda yang membuat orang takluk. Dengan “pekerjaan-pekerjaan” di situ dimaksud hidup pribadi yang dapat mempersaksikan kepercayaan kepada Bapa yang hadir di dalam Yesus itu. Praktisnya, hidup mengGereja, hidup sebagai kumpulan orang yang percaya, yang merasa terpanggil untuk meluangkan tempat bagi kenyataan ilahi di dalam hidup ini dan mengakuinya di hadapan orang banyak. Itulah Gereja sebagai komunitas orang-orang yang percaya.
Komunitas orang-orang percaya dapat melakukan hal-hal yang tak terpikirkan dan tak terbayangkan sebelumnya, yakni membawakan keilahian ke dunia ini. Keprihatinan utama bukan lagi untuk menggapai dan mencapai Yang Ilahi yang di “sana”, melainkan membawaka-Nya ke “sini”. Itulah yang dimaksud dengan “pekerjaaan-pekerjaan besar”. Dan hingga hari ini mereka etap dipanggil untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan besar ini.
KOMITMEN SOSIAL GEREJA DAN KEHADIRAN SABDA
Dalam bacaan pertama (Kis 6:1-7) dikisahkan bagaimana komunitas para pengikut Yesus mulai berkembang. Dengan jumlah yang besar maka keragaman serta perbedaan kebutuhan makin terasa. Dan inilah yang terjadi. Ada sebagian yang merasa kurang mendapat perhatian para pemimpin yang karena keterbatasan manusiawi tidak begitu melihat kebutuhan mereka. Jalan keluarnya menarik. Dua cara ditempuh sekaligus. Yang pertama ialah mengatur, mengorganisir, membuat manajemen yang memadai kebutuhan. Kini tidak lagi pemimpin mengurus segala-galanya melainkan dibantu ketujuh diakon umat, yakni orang-orang yang bertugas melayani anggota yang kurang terjangkau. Yang kedua, ialah mengusahakan agar para rasul, para pemimpin, lebih memusatkan perhatian pada doa dan pelayanan sabda., semakin merohanikan peran mereka. Begitulah dua cara ini, manajemen yang memadai dan pemantapan peran kerohanian para pemimpin berangsur-angsur memberi bentuk pada komunitas gerejawi yang semakin bertumbuh itu. Inilah sebabnya mengapa sejak awal gereja hingga kini ditandai dengan komitmen sosial yang penuh tetapi sekaligus juga menjadi penghadir kenyataan Sabda. Keduanya bahkan menjadi ukuran ketepercayaan gereja. Bila hanya ada salah satu maka sulit dikatakan gereja sungguh memungkinkan komunitas para pengikut Kristus hidup dan berkembang seperti dikehendakinya, yakni menghadirkan kemurahan Yang Maha Kuasa dan sekaligus mempercayai dia yang amat dekat dengan Yang Maha Kuasa yang diperkenalkannya sebagai Bapa.
Tersirat adanya pembedaan antara “jalan, kebenaran, dan hidup” dengan mereka yang menempuhnya. Orang-orang yang menempuh jalan mau tak mau akhirnya akan menemukan jalan yang satu-satunya bagi dia dan tidak merasa butuh berpindah-pindah lagi. Kebenaran justru akan makin ditemukan di dalam menempuh arah yang ditekuni itu. Dalam arti ini dapatlah dikatakan ia menemukan “jalan, kebenaran, dan hidup”. Namun demikian, dalam menjalaninya akan berkembang juga keragaman, justru karena jalan itu jalan yang hidup, bukan jalan yang sudah selesai dan tinggal dilalui dan habis perkara. Bahkan yang dituju sendiri itu hidup, yakni Yang Ilahi sendiri. Apa yang paling berharga di dalam tiap tindakan menempuh jalan ini? Dalam bahasa sekarang, komitmen yang dijalani dengan tulus serta bertanggungjawab Itulah sikap keagamaan yang diajarkan kepada Tomas dan kepada Filipus dalam petikan Injil Yohanes yang dibacakan hari ini. Itu juga sikap yang diajarkan kepada pengikut Kristus. Dan kiranya masuk akal juga bila kumpulan orang dipanggil untuk percaya menawarkan sikap ini kepada semua orang yang berkemauan baik.
Salam hangat,
A. Gianto
MENEMUKAN JALAN YANG BENAR DAN YANG HIDUP
Di zaman kita ini makin tumbuh kesadaran bahwa ada pelbagai jalan yang mengarah ke tujuan yang sama. Lalu apakah praktisnya bisa dikatakan “banyak agama, tujuan sama”? Luruskah amatan ini? Pluralitas kepercayaan menjadi titik tolak? Perkara sensitif. Dan makin peka bila berkaitan dengan ajaran agama. Tetapi sering kita terpaksa mengakui seperti Tomas tidak tahu mana arah yang sesungguhnya. Syukurlah Tomas, dan siapa saya yang seperti Tomas, diajak melihat bahwa ada jalan, ada kebenaran, dan ada yang membawakan kehidupan.